Selasa, 27 Mei 2008


Senin, 26 Mei 2008

Mari Kembali Jadi Manusia Purba

INI BUKAN SINISME untuk menyindir keterpurukan kita saat ini. Orang punya duit, tapi tak mampu beli gas, mungkin sebentar lagi bensin bernasib sama: langka!Mari kembali seperti manusia purba! Mengapa?
Manusia purba itu menghadapi alam yang ganas dan binatang buas yang mungkin belum mereka kenali. Tak heran bila guntur dan petir dianggap sebagai kekuatan gaib. Apa yang mereka andalkan?
Komputer untuk mencari data tentang apa itu petir? Tak ada.
Ketika di gua hunian gulita, mereka tak semudah kita orang kota, tinggal memijit tombol lampu, maka menyalalah lampu.
Ketika mereka lapar dan butuh daging, mereka tidak dapat mengunjungi supermarket seperti kita untuk memilih jenis daging yang diinginkan, mereka harus berjuang di luar sana memburu makanannya dan terkadang justru merekalah yang jadi buruan dan korban binatang buas.
Mereka berburu bukan dengan bedil, tapi dengan tombak kayu dan batu.
Kita belum bicara tentang bagaimana cara mereka memasak daging, tentu tidak seperti kita yang tinggal menyalakan kompor gas.
Kemudian, bila bosan, kita tinggal mengeluarkan mobil dari garasi dan jalan jalan di aspal mulus.
Bagaimana dengan manusia purba?
Manusia purba mulai dari keadaan nol, sebab itu mereka mengandalkan segenap kemampuan dirinya.
Tak ada teknologi tempat bersandar seperti
mobil, laptop, kompor, kamera, radio, televisi.
Mereka hanya berpaling kepada tubuhnya. Melatih dan mengasahnya.
Sehingga mata setajam elang, tubuh selincah macan, tenaga sekuat kuda, telinga dan hidung sepeka anjing pemburu dan daya ingat sangat kuat. Mungkin saat inilah Tuihan puas melihat
manusia menggunakan pancainderanya secara optimal.
Inilah yang hilang dari manusia modern masa kini.
Oleh sebab itu: Mari kembali jadi manusia purba.
(Gambar dari Corel image).

Tentang Tantangan

ADA SATU KALIMAT YANG BERKESAN dari Profesor Primadi dalam kuliah Proses Kreasi, yaitu: ‘Kreativitas memerlukan tantangan.’ Untuk kreatif orang atau anak didik kita harus diberi cukup tantangan. Tanpa stimulasi ini, maka sulitlah mengharapkan orang jadi kreatif. Sederhana sekali. Beri tantangan yang cukup, maka manusia akan fight.

Dewasa ini ada begitu banyak buku memberi berbagai teknik dan resep untuk menjadi orang kreatif, Anda bisa melihatnya di toko buku, namun jarang ada buku yang mengajarkan ’tantangan’bisa memacu kreativits.
Suatu hari, pintu rumah kami macet. Padahal kami merasa sudah membukanya dengan prosedur yang benar.

"Mulailah kami mencoba membukanya
dengan berbagai cara. Menekan sedikit,
dengan mendorong pintu, dengan
mengangkat sedikit dan seterusnya. "

Mulailah kami berpikir kreatif, bagaimana caranya membuka pintu dengan cara inkonvensional....

Cerita pintu mungkin sepele, mari kita lihat skala lebih luas. Saat ini BBM langka, mau switch ke kompor minyak tanah juga sulit, karena minyak juga mulai
ditarik dari peredaran. Masalah ini bisa dilihat dari segi sosial, bisa pula dari sudut politis.Tapi dalam tulisan ini, kita akan melihatnya dari sudut kreativitas. Ini tantangan! Mulailah kita memutar otak kita. Otak yang selama ini dimanjakan dengan segala kemudahan: Tinggal ceklik, maka gas menyala. Pencet tombol maka message sent di layar hape. Ceklek maka menyalalah lampu. Dstnya.

Saya ikut prihatin dengan keadaan negara kita, prihatin dengan kesengsaraan orang kecil dan mengecam bila ternyata itu terjadi akibat permainan politik atau ulah kotor para koruptor. Namun dibalik semua kesengsaraan itu ada tantangan untuk kreatif. Ada orang-orang yang berhasil mengatasi problem itu dengan energi alternatif seperti gas bio, atau konon tinja sebagai ’arang’, hemat bensin dengan campuran air dan lain sebagainya.

Seakan problema ekonomi dan sosial belum cukup, kita disibukkan juga dengan problem ekologi: kehancuran bumi oleh ulah penghuninya yang semena-mena, sehingga muncul isu
global warming.
Ini tantangan kita penduduk bumi. Kita dapat mengatasinya dengan berpikir kreatif. Ingat manusia purbapun hidup didalam alam serba terbatas, belum ada teknologi canggih yang bisa ia andalkan. Jadi untuk survive, ia memakai kreativitasnya. Ia ditempa oleh tantangan.

Minggu, 25 Mei 2008

Mendengar Suara Manusia Lagi

ADA TEMAN YANG KALAU BERCERITA amat sangat menuntut perhatian kita, tetapi ketika giliran orang lain bercerita ia seolah tak mau mendengarkan. Kemudian ketika tiba giliran bicara lagi, kembali kita harus menjadi pendengar yang setia. Mengesalkan. Tapi saya pikir, tanpa sadar, jangan-jangan sayapun melakukan hal serupa pada orang lain. Lebih canggih (baca:payah) lagi bila seolah olah mendengar, tapi sebenarnya tidak. Timbul pertanyaan: Apakah selama ini saya sudah memakai telinga saya secara benar?
Tampaknya kita perlu belajar makna ’mendengar’ suara manusia lagi.

Suara Manusia itu Unik
Mendengar bisa hanya sampai digendang telinga atau paling banter di memori kita. Namun menikmati itu sampai di hati. Kapan kapasitas mendengar kita ada di puncak tertinggi? Dapatkah kita belajar dari pengalaman itu? Saya ingat itu terjadi saat anak pertama kami hadir di tengah keluarga. Betapa senangnya hati ketika anak pertama kami mulai mengeluarkan suara untuk berkomunikasi.Walaupun terkadang tanpa makna tapi kita dapat menikmati suara anak itu. Mengapa hal ini tak kita terapkan pada saat kita mendengar orang lain berbicara. Nikmati warna, nada dan alunan suara tiap manusia itu
unik. Salah satu pemberian ajaib Tuhan. Dengan getaran pita suara dileher, udara, lidah dan akustik rongga mulut terciptalah berbagai suara manusia. Karakter suara menjadi identitas pribadi pemiliknya. Karakter suara merekam kondisi jiwa pemiliknya, apakah ia pemarah, angkuh, penyabar atau tertindas.
Puncak pengolahan karakter suara ini dapat kita lihat pada dunia tarik suara.
Kesimpulan petama, untuk mendengar saya perlu belajar menikmati suara manusia.

Pilihan Kata
Selanjutnya, kembali pada ilustrasi anak pertama saya.Selain karakter suara, kita juga melihat bagaimana anak memilih kata untuk mengungkapkan isi hatinya. Kami terkagum-kagum mendengarnya berkomunikasi dengan kosakata terbatas. Helikopter jadi ’eliotum’, mobil jadi ’abin’, ambulans jadi ’wuiwih’. Pada komunikasi orang dewasa situasinya memang beda. Orang punya kosakata yang beragam. Tapi disinilah asyiknya melihat bagaimana ia memilih kata untuk mengungkapkan isi hatinya. Ada orang yang selalu menggunakan ungkapan eufemisme dalam berbicara, ada yang sarkastik ada yang memakai kata-kata dari dunia ekonomi dsbnya. Puncak tertinggi dari pemilihan kata ini dapat kita lihat dalam retorika verbal. Ini kesimpulan kedua saya. Mendengar berarti menyimak pilihan kata.

Melampaui Bahasa
Akhirnya, belajar menangkap makna tersirat melampaui bahasa kata. Pengalaman bersama anak lagi lagi menjadi contoh nyata. Saat berkomunikasi saya tak hanya menikmati suara dan pilihan katanya, tapi juga totalitas pribadinya. Setiap untaian kata tak berdiri sendiri. Gerak gerik, ekspresi wajah dan sikap tubuh selalu mengiringinya. Sekali lagi ini dapat diterapkan pada dunia komunikasi orang dewasa. Dengan menyimak gerak, ekpresi wajah dan sikap tubuh yang mengiringi bicara niscaya kita dapat ’mendengar’ orang lebih baik. Mendengarkan bukan hanya dengan telinga kita, tapi juga dengan mata dan hati.

BENSIN







Bensin kini pegang kendali hidup
Tanpa kehadirannya banyak orang jengkel
Karena mobil atau motornya tak mau hidup
Seolah kaki mereka hanya tercipta cuma
untuk menginjak rem dan gas
Seolah tangan mereka tercipta cuma
untuk menyetir atau mengoper persneling.

Bensin kini pegang kendali hidup
Bila harga jualnya melambung tinggi
Meroket pulalah harga kebutuhan hidup
Mendidih pulalah amarah masyarakat
Dan terjerembablah rakyat miskin melarat

Bensin kini pegang kendali hidup
Siang malam kami memikirkannya
Dari penghuni gubug hingga penguasa di istana
Siang malam kami menghirupnya
Ketika ia berubah menjadi asap knalpot
Bercampur oksigen segar di udara kota
Menerobos lubang hidung kami
Diserap paru paru lugu kami
Mengawini butiran butiran darah
menghangatkan seantero tubuh
menjadi detak kehidupan kami
memberdayakan kerja otak
Tak heran, kami selalu memikirannya,
memimpikannya dan membicarakannya:

Bensin kini pegang kendali hidup ...

Kamis, 22 Mei 2008

FTF dan SMS


KITA HIDUP DI ERA YANG MENDORONG orang untuk berkomunikasi tanpa tatap muka. Ada banyak teknologi yang menunjang itu. Dimulai dari kehadiran telpon konvensional hingga telpon sellular. Suatu perkembangan yang tak terbayangkan 10 tahun yang lalu. Kini komunikasi ada dalam genggaman kita. Artinya pertama secara harafiah telpon menjadi sangat portabel, mudah dibawa kemana-mana(sebab itu ia juga disebut ’mobile’). Selain itu komunikasi menjadi sangat cepat dan mudah. Kita bisa melakukan kontak suara , bisa mengirim pesan singkat/SMS, mengirim gambar /MMS atau bahkan bertele-conference kepada orang yang nun jauh di negeri sebrang atau justru kepada orang yang hanya berada 2 meter dari tempat duduk kita.
Contoh terakhir diatas menunjukkan bahwa teknologi bisa memperlancar komunikasi bisa juga jadi penghalang. Seiring dengan segala kemudahan itu apakah komunikasi antar manusia juga semakin membaik? Saya ragu untuk menjawab ya, karena sering terdengar alasan orang bhwa batere HP lagi ngedrop, atau SMS tak diterima, dsbnya padahal sebenarnya enggan berkomunikasi. Ternyata semua kecanggihan teknologi sangat tergantung manusia yang memanfaatkannya. SMS memang cepat dan praktis, tapi bayangkan bila SMS digunakan untuk teror, gosip, atau melamar orang. Ada komunikasi yang tak bisa dilakukan melalui kecanggihan teknologi tadi. Dengan perkataan lain komunikasi tatap muka tetap dibutuhkan. Ada hal yang tak bisa diwakili oleh SMS. Perlu komunikasi tatap muka/Face to Face (FTF) dimana kedua belah pihak dapat merasakan aura masing-masing, melihat ekspresi wajah, meraba perasaan lawan melalui getar nada suara, dan yang terpenting kehadiran kedua belah pihak sebagai pribadi utuh. Kita bersyukur untuk segala kemajuan yang kita capai namun jangan lupakan hal hal yang tak tergantikan oleh layar hape/deretan kata SMS. (ilustrasi karya: Nan)

Minggu, 18 Mei 2008

Uji Nyali Sejati

INGAT ACARA FEAR FACTOR DI TELEVISI? Bagaimana perasaan Anda?. Sebagai penonton saja (apalagi sebagai peserta) kita seolah ikut mual, ngeri dan jijik melihat bagaimana para peserta berjuang menjadi yang terberani dan.....meraup hadiah utama, uang tunai menggiurkan.
Dari episode ke episode ujian mental semakin berat dan kreatif. Untuk mengikuti acara macam Fear Factor tadi tentu butuh persiapan fisik mental yang luar biasa. Tak sembarang orang bisa jadi peserta.

Namun sebenarnya ada fear factor lain dalam hidup ini. Fear Factor ini mau tak mau kita ikuti, tak perlu berotot seperti para peserta di TV, tak perlu mendaftar dulu, karena Fear Factor ini selalu mengikuti Anda dan saya.Menguji kita semua. Acara Fear Factor ini sangat bersahaja, ujiannya juga sama, tapi banyak orang gagal. Apakah itu? Inilah dia: Melakukan sesuatu tanpa pamrih! Ya, setiap kali nyali atau keberanian kita diuji untuk melakukan sesuatu tanpa pamrih. Sulitnya luar biasa, karena pola pikir untung rugi sudah mendarah daging dalam diri. Selalu saja ada sekian persen keuntungan yang kita pikirkan. Seringnya malah ada udang dibalik batu, ada maksud tersembunyi. Hati orang siapa tahu. Ketika harus menolong, kita berpikir investasinya apa, apa untungnya kelak, atau lumayanlah buat relasi, atau ‘dia kan dulu pernah nolong kita’. Lihat saja bagaimana kosa kata ekonomi seperti inves, profit, rugi, income, SDM, aset memasuki dunia non dagang seperti institusi sosial dan agama. Pola pikir ini tak salah bila Anda berdagang. Namun kalau mental pedagang merasuki seluruh tulang sumsum kehidupan, maka ini namanya masalah. Amal ibadah, pelayanan, pertolongan yang kita berikan dicemari oleh nafsu akan harta. Di jaman matre ini, butuh keberanian besar untuk melakukan sesuatu tanpa pamrih. Saya pikir, inilah uji nyali sejati, tak ada kamera yang menayangkan prestasi kita, tak ada iming-iming hadiah uang, dari luar orang lain bisa saja melihat diri kita suci, baik hati dan welas asih. Tapi didalam hati hanya saya dan Tuhan yang tahu.

Wajah 2
















WAJAH SUDAH ADA SEBELUM TV, Film, Buku, lukisan, mobil, rumah. Bayi pertama menatap wajah ibunya dan ibu berbisik sambil tersenyum,” ini mama.”
Wajah diperkenalkan kepada anak kecil. Demikian sebaliknya, ibu menatap wajah anaknya dalam-dalam.
Dibanding anggota tubuh yang lainnya, wajah ada di tempat paling terhormat, ia ada di tempat teratas, strategis, mudah dilihat. Untuk menghina, wajahlah yang diludahi dan ditampar. Kita dapat menolak kehadiran seseorang dengan membuang wajah kita. Pada dasarnya wajah itu ekspresif, merupakan cermin tulus perasaan hati. Namun ada orang yang melatihnya sedemikian rupa justru untuk menyembunyikan kejujuran.

Budaya boleh beda, kebiasaan boleh lain, namun apapun bangsa dan rasnya, tak sulit bagi kita untuk memaknai senyum, tangis dan tawa di wajahnya.
Melalui wajah getaran bahagia atau duka seolah bisa disalurkan kepada orang lain.
Wajah, tak terhitung berapa rol film, berapa jepretan kamera diarahkan kepada wajah manusia.Para seniman tak kenal bosan mengangkat wajah sebagai tema lukisannya.
Lihatlah lukisan Monalisa. Apa yang membuatnya termasyur, bukan cantiknya tapi wajahnya.
Gambar-gambar dalam tulisan ini memperlihatkan bagaimana seorang anak terpikat pada wajah. Terlihat bagaimana ia memfokuskan diri pada mata, dalam menggambar ia tak semata meniru apa yang ia lihat, tetapi ia berusaha menangkap ekspresi atau jiwa dari apa yang ia lihat. Demi ekspresi ia melakukan distorsi dan deformasi. Untuk itu mata bisa menjadi titik atau bentuknya diperbesar. Wajah memang menyimpan seribu misteri, ia bagai mata air yang tak ada habisnya ditimba.

Kamis, 15 Mei 2008

Wajah

Ketika anak saya menggambar wajah ini, saya langsung bertanya tentang latar belakang gambar ini. Saya surprise. Karena biasanya ia menggambar wajah, sosok tubuh yang’cute’. Tapi gambar ini….180 derajat bertolak belakang. Bagi saya ini ibarat penyanyi dangdut beralih menyanyikan lagu seriosa. Mengapa menggambar seperti ini? 'Karena lagi pengen aja', jawabnya. Titik.
Dalam seni rupa, ide terkadang tak bisa dilayani oleh teknik dan gaya yang kita biasa gunakan. Ide bisa mendorong terciptanya teknik dan gaya yang baru.