Senin, 23 Februari 2009

Bakat, Alat dan Bahan




Anak putri kami berulangtahun Februari ini. Dua belas tahun usianya. Karena ia senang menggambar, maka hadiah yang kami berikan juga menyangkut dunia seni rupa, yakni bermacam-macam peralatan menggambar. Ada cat air, pensil warna, drawing pen, kuas dan lain-lain sebagainya. Ia senang sekali......meskipun baru pertama memakai cat air misalnya, ia langsung mencoba membuat satu gambar. Kelihatan sekali ia berusaha mengenal alat baru itu. Jadi ternyata dalam dunia seni rupa bakat menggambar belum cukup. Perlu eksplorasi alat dan permukaan yang digunakan. Justru perpaduan antara bakat, alat dan bidang permukaan (bahan) akan menghasilkan karya yang unik. inilah beberapa eksplorasi alat/pewarna yang dilakukan putri kami. tertentu

Rabu, 14 Januari 2009

Ingatlah Nak,
Uang itu Bukan Segalanya.....tetapi
Uang itu
di atas
Segalanya!
(Nasihat Bu Matre pada Anaknya sebelum pergi merantau)

Rabu, 07 Januari 2009

JALAN TOL(OL)











Jalan Tol. Jalan bebas hambatan.
Kita pernah melewatinya. Umumnya bayar.
Kenapa bayar? Karena ada kelebihan dan kemudahan serta manfaat yang kita peroleh darinya. Naik mobil di jalan tol sebaiknya mobil yang relatif prima kondisinya kalau tak mau celaka. Ini berarti teknologi kendaraan harus cukup canggih untuk berkendara di jalan yang canggih pula. Jalan tol bisa jadi potret budaya modern kita: praktis, cepat, mesin, bebas, teknologi.

Namun kenikmatan "modern" ini jangan sampai menggilas apa yang natural atau alami.
Sebab menurut saya manusia tidak hidup dari mesin saja, ia juga butuh sentuhan alam.

Kontras ini yang saya potret disini.
Foto-foto ini di ambil dari atas kendaraan yang melaju di jalan tol. Kamera yang digunakan kamera hape. Foto sederhana, namun menyeimbangkan antara mesin/teknologi di satu pihak dan alam kehidupan/ciptaan Tuhan di lain pihak.
Mudah-mudahan dengan demikian jalan TOL menjadi lebih manusiawi, bukan jalan keTOL(OL)an manusia: arogansi ciptaan manusia diatas ciptaan ilahi.

Memotret yang Tak Terpotretkan














Desember kami sekeluarga ke Pangandaran. Semua yang di perlukan sudah disiapkan. Bagi saya tentu saja kamera harus siap. Pasti ada banyak pemandangan pemandangan yang layak foto. Maka jauh hari saya sudah survey ke sekian toko foto, maksudnya mau beli kamera DLSR. Kamera besar macam Sony dan Nikon. Sampai batas waktu ternyata, kantong saya belum siap, apalagi nilai tukar dollar tak ramah terhadap rupiah. Dengan berat hati saya pergi berlibur. Oke, saya tetap memotret dengan kamera seadanya, dan kamera yang ada ya di HP SE 550i saya.

Hasilnya, eh.... tak mengecewakan. Foto berikut ini di copy dari kamera hape tanpa editan photoshop. Tentu bukan karena kamera Hape yang canggih, kamera ini sangat terbatas, sebab itu saya berusaha mengenal karakter kamera, mengenal pemandangan yang ada dan momen yang tepat. Apa yang tersaji didepan mata sebenarnya sesuatu yang tak terpotretkan. Pemandangan yang luar biasa. Sekalipun saya memakai kamera super canggih berharga ratusan juta, tetap saya memotret yang tak terpotretkan. Yang mampu ditangkap kamera hanya sebagian dari keindahan alam. Betul lho..., pemandangan yang tersaji didepan mata kita nikmati bukan dengan mata saja, tetapi dengan segenap jiwa raga kita, dalam suasana
tertentu di tepi pantai, kaki menapak di pasir pantai, angin sepoi
membelai kulit. Ini semua tak terwakili di dalam sebuah gambar foto.

Cari Muka
















Manusia suka cari muka. Bukan, maksudnya bukan dalam pengertian negatif lho. Manusia suka cari muka atau wajahnya pada berbagai benda yang ia temui di alam ini. Ia bisa melihat sebatang pohon mirip wajah kakek-kakek, ia bisa menemui wajah lucu di daun pintu rumah dan seterusnya... Nah, putri saya tiba-tiba menemukan wajah di buah delima yang matang merekah.


"pa, pinjam kamera...".

Dan tampilah wajah pada delima yang semula luput dari pandangan saya.
Saya jadi penasaran, saya juga ikut mencari wajah lain di delima yang sama.
Eh, ternyata masih ada ekspresi wajah lain di sana. Jadilah satu delima dengan aneka wajah.
Cermin itu ternyata tidak harus terbuat dari kaca yang memantulkan wajah diri.
Cermin itu bisa benda berupa buah, batu, awan yang memantulkan imajinasi kita, yang memantulkan wajah orang lain.(apalagi kalau wajahnya jelek..he..he..he)

Rabu, 10 Desember 2008

Berkreasi dengan Rambut

























































































































Ada kebiasaan baru putri bungsu kami, yaitu menata rambutnya di muka cermin. Menata sih kedengarannya biasa, semua orang dalam kadar tertentu kan harus menata rambutnya agar rapi dan enak dipandang. Namun, si bungsu ini melakukan lebih dari itu. Ia sengaja bereksperimen, dengan gelang, jepit rambut dan lain sebagainya untuk menghasilkan berbagai model riasan rambut. Kalau kakak-kakaknya senang bermain dengan pensil dan warna, maka si bungsu ini senang bermain dengan rambutnya. Ada puluhan model yang telah ia ciptakan, disini hanya beberapa yang sempat kami abadikan.

Jumat, 05 Desember 2008

Rabu, 26 November 2008

Estetika Kematian















Tetangga kami, di kampung belakang sedang berduka. Anaknya meninggal dunia akibat ulah
nyamuk demam berdarah.

Seperti biasa (di Indonesia), setelah jatuh korban baru semua sibuk berbenah lingkungan. Langkah pertama adalah melakukan peyemprotan lingkungan untuk membasmi jentik.


Saya tak menyiakan kesempatan untuk memotret pemandangan langka ini. Seluruh interior rumah dipenuhi kabut. Pemandangan langka. Karena tak ada korban tak akan ada pemandangan seperti ini.
Inilah estetika kematian:
Kematian anak tetangga gara-gara DB,
ya juga kematian para nyamuk terkena kabut maut.

Senin, 20 Oktober 2008

Disapa Alam, Setiap Hari


Setiap pagi ritual sapa menyapa bekerja. Di kantor, di kampus, di sekolah, di kompleks di jalan bila Anda berjumpa dengan teman, dosen, mahasiswa, tetangga terjadilah ritual tersebut. Mulai dari yang basa-basi hingga yang tulus ikhlas. Dari yang ’selamat’ pagi’, ’hallo, apa kabar’, ’hai’ dan segala variannya. Rasanya kurang sopan bila kita tak bertegur sapa, karena betapapun basa-basinya ritual tegur sapa tetap dibutuhkan sebagai pelumas komunikasi antar manusia.
Di samping sapaan orang, sebenarnya alampun menyapa kita setiap saat.
Pagi hari ia menyapa dengan memberi nada optimistik lewat sinar mentari pagi.
Anak-anak bayi mungkin mahluk yang masih peka dengan sapaan pagi, perhatikan betapa gembiranya mereka berceloteh saat bagun pagi.
Adakalanya kita disapa oleh hujan gerimis yang romantis pagi hari, membuat orang betah
berhangat- hangat dibalik selimutnya.
Cobalkah keluar rumah pagi hari, maka udara segarpun menyapa kita. Pikiran jadi segar, hati jadi gembira. Seolah kita diberi kesempatan lagi untuk memulai hari dengan udara baru dan segar.
Sapaan alam ada dimana-mana. Yang perlu dilakukan adalah membuka mata, telinga batin kita untuk menyadarinya.
Daun-daun berguguranpun bisa menjadi sapaan alam yang menyentuh hati. Daun berguguran bukanlah semata-mata sampah yang harus disapu dari halaman .

Tadinya Akrab, Kini Orang Asing

Seringkali orang terlambat menyadari kalau dirinya itu juga merupakan bagian dari alam.
Ia lupa, ribuan pohon yang ditebanginya itu mengeluarkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya sendiri. Ia begitu asyik mengeksploitasi alam habis-habisan sampai tiba-tiba terjadi bencana alam banjir, longsor dan badai dan aneka penyakit. Selidik punya selidik ternyata semua bencana ini bersumber dari sikapnya sendiri.
Sebenarnya, intinya adalah manusia modern sudah tidak akrab lagi dengan alam, ia orang asing terhadap alam. Salah satu penyebabnya adalah karena terlalu akrab dengan uang. Banyak contohnya. Hutan dengan keanekaragaman hayati tanpa ampun di gunduli demi kayu, atau demi pertambangan. Pepohonan diperkotaan digusur untuk lahan billboard. Lapangan rumput hijau bertaman rindang jadi lapangan aspal bertembok beton supaya mall punya lahan parkir.
Sikap asing ini juga ditunjukkan dengan sikap tak suka akan kehadiran pepohonan di lingkungan sekitarnya. Ada daun gugur saja bisa membuat orang marah. Padahal daun gugur itu bagian dari siklus alami pepohonan. Daun gugur bisa menyuburkan tanah, bisa membuat landskap variatif.
Manusia dan alam ibarat sepasang suami istri yang jarang bertemu. Sang suami pergi mencari sesuap nasi meninggalkan istrinya sekian lama, sehingga ketika ia pulang istrinya telah menjadi orang asing baginya. Sirna sudah segala keakraban cintakasih yang semula menyatukan mereka.