ADA TEMAN YANG KALAU BERCERITA amat sangat menuntut perhatian kita, tetapi ketika giliran orang lain bercerita ia seolah tak mau mendengarkan. Kemudian ketika tiba giliran bicara lagi, kembali kita harus menjadi pendengar yang setia. Mengesalkan. Tapi saya pikir, tanpa sadar, jangan-jangan sayapun melakukan hal serupa pada orang lain. Lebih canggih (baca:payah) lagi bila seolah olah mendengar, tapi sebenarnya tidak. Timbul pertanyaan: Apakah selama ini saya sudah memakai telinga saya secara benar?
Tampaknya kita perlu belajar makna ’mendengar’ suara manusia lagi.
Suara Manusia itu Unik
Mendengar bisa hanya sampai digendang telinga atau paling banter di memori kita. Namun menikmati itu sampai di hati. Kapan kapasitas mendengar kita ada di puncak tertinggi? Dapatkah kita belajar dari pengalaman itu? Saya ingat itu terjadi saat anak pertama kami hadir di tengah keluarga. Betapa senangnya hati ketika anak pertama kami mulai mengeluarkan suara untuk berkomunikasi.Walaupun terkadang tanpa makna tapi kita dapat menikmati suara anak itu. Mengapa hal ini tak kita terapkan pada saat kita mendengar orang lain berbicara. Nikmati warna, nada dan alunan suara tiap manusia itu
unik. Salah satu pemberian ajaib Tuhan. Dengan getaran pita suara dileher, udara, lidah dan akustik rongga mulut terciptalah berbagai suara manusia. Karakter suara menjadi identitas pribadi pemiliknya. Karakter suara merekam kondisi jiwa pemiliknya, apakah ia pemarah, angkuh, penyabar atau tertindas.
Puncak pengolahan karakter suara ini dapat kita lihat pada dunia tarik suara.
Kesimpulan petama, untuk mendengar saya perlu belajar menikmati suara manusia.
Pilihan Kata
Selanjutnya, kembali pada ilustrasi anak pertama saya.Selain karakter suara, kita juga melihat bagaimana anak memilih kata untuk mengungkapkan isi hatinya. Kami terkagum-kagum mendengarnya berkomunikasi dengan kosakata terbatas. Helikopter jadi ’eliotum’, mobil jadi ’abin’, ambulans jadi ’wuiwih’. Pada komunikasi orang dewasa situasinya memang beda. Orang punya kosakata yang beragam. Tapi disinilah asyiknya melihat bagaimana ia memilih kata untuk mengungkapkan isi hatinya. Ada orang yang selalu menggunakan ungkapan eufemisme dalam berbicara, ada yang sarkastik ada yang memakai kata-kata dari dunia ekonomi dsbnya. Puncak tertinggi dari pemilihan kata ini dapat kita lihat dalam retorika verbal. Ini kesimpulan kedua saya. Mendengar berarti menyimak pilihan kata.
Melampaui Bahasa
Akhirnya, belajar menangkap makna tersirat melampaui bahasa kata. Pengalaman bersama anak lagi lagi menjadi contoh nyata. Saat berkomunikasi saya tak hanya menikmati suara dan pilihan katanya, tapi juga totalitas pribadinya. Setiap untaian kata tak berdiri sendiri. Gerak gerik, ekspresi wajah dan sikap tubuh selalu mengiringinya. Sekali lagi ini dapat diterapkan pada dunia komunikasi orang dewasa. Dengan menyimak gerak, ekpresi wajah dan sikap tubuh yang mengiringi bicara niscaya kita dapat ’mendengar’ orang lebih baik. Mendengarkan bukan hanya dengan telinga kita, tapi juga dengan mata dan hati.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar