Selasa, 15 Juli 2008

Bersyukur untuk Makanan

SAYA DAN ADIK-ADIK INGAT MASA KECIL SAYA. Di meja makan, tanpa tahu alasannya, saya dituntut untuk menghabiskan makanan yang ada di hadapan saya. Kalau belum tuntas, belum boleh meninggalkan meja makan. Kadang-kadang bisa curang juga, kalau orang tua tak mengawasi, sisa makanan yang wajib dihabiskan dibuang ke tempat sampah, kemudian kami memperlihatkan pada ortu bahwa piring telah kosong.

Belakangan, ketika dewasa, kami baru paham apa makna disiplin menyantap makanan tadi: bersyukur untuk berkat makanan. Barangkali ortu kami telah melewati masa sukar makanan bersama ortu mereka di masa perang dunia ke 2, sehingga menerima bisa beryukur atas makanan yang diterima.

Baru-baru ini saya dapat oleh-oleh cerita serupa dari teman yang berkunjung ke satu universitas di Cina. Singkatnya, tuan rumah menjamu delegasi dari Indonesia dengan menu makan yang luar biasa dari segi kualitas dan kuantitas. Pokoknya puas banget. Makanan disajikan bertahap, menu satu disajikan disusul menu berikutnya. Secara urutan penyajian, delegasi Indonesia melihat menu disusun berdasar tingkat kelezatannya. Semakin lama semakin klimaks, makin enak. Sampailah pada menu terakhir.

Sebelum disajikan, tuan rumah memberi pengantar bahwa para tamu harus mencoba menu rakyat Cina di tahun 60-an. Beberapa delegasi sudah tak sanggup karena kekenyangan, untuk kesopanan salah satu dosen mencoba hidangan jagung. Di benaknya jagung itu dibayangkan seperti jagung manis yang ada di tanah air. Begitu dicicipi, ternyata rasanya sangat tidak enak, pahit. Jagung jenis apa ini? Tuan rumah seperti sudah bisa menebak perasaan pemakan jagung, berujar, "Nah, itulah makanan yang kami makan 40 tahun lalu ketika rakyat Cina dilanda masa kesusahan luar biasa."

Ternyata hidangan terakhir sengaja dihidangkan untuk mengkontraskan antara makanan lezat masa kini dengan makanan penderitaan dulu.
Konon ritual menu macam ini biasa dipraktekkan di Cina, untuk mengenang masa itu, untuk bersyukur atas makanan.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Hmm...Saya blom pernah nyobain masakan Indonesia tahun 1945 atau zaman-zaman susahnya revolusi..Kayanya sama aja dengan makanan sekarang =P

Rene mengatakan...

Bener juga ya, ironis
kayaknya sekarang kok sulit listrik, bbm, gas dll. Jangan-jangan malah lebih parah dari jaman jepang, memang dulu orangnya kurus-kurus, tapi kalau liat di film dokumenter ga ada deh yang antri sampe berkelahi seperti sekarang.....